MALU-MALUIN TARZAN!

Malu-Maluin Tarzan!
“Sebab siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.”  Matius 12:50

Pernakah anda mendengar cerita film Tarzan?  Ya, film klasik ini dikenal oleh berbagai kalangan di hampir seluruh dunia.  Mulai dari orang dewasa hingga anak-anak; banyak yang pernah melihat film ini.  Konon ceritanya Tarzan adalah anak  manusia yang diasuh di hutan oleh sejumlah gorila.  Binatang berjenis kera ini tidak sampai hati meninggalkan mahluk kecil tidak berdaya di rimba liar.  Jadilah sebuah cerita tentang gaya hidup pengasuhan keluarga gorila terhadap anak adopsi:  manusia.
Walaupun hidup dalam keluarga kera; Tarzan memiliki kepolosan dan ketulusan manusia yang baik.  Dalam kelanjutan ceritanya ada sejumlah orang dari kalangan manusia dengan peradaban modern, datang dari kota hendak melakukan kejahatan dengan tipu muslihat maupun kekerasan.  Singkat cerita; Tarzan yang disebut manusia kera dari dunia primitiflah yang menjadi pahlawan dan menolong yang lemah.
Sebenarnya di balik cerita legendaris ini ada hal yang dapat kita pelajari.  Pertama mengenai betapa kejahatan manusia itu nyata dan terus berkembang; bahkan melampaui kebuasan hewan liar.  Kedua, ternyata dibalik perilaku binatang liar yang katanya hidup di luar peradaban, justru memiliki kasih sayang terhadap anaknya sendiri.  Sering kali manusia lah yang lebih kejam dari binatang.  Sungguh perbandingan yang sangat kontras antara kasih sayang keluarga hewan dan kejahatan keluarga besar manusia yang menamakan dirinya modern.
Saat ini kita diajak untuk merenungkan kembali arti keluarga dan bagaimana menghidupi yang namanya keluarga di dalam Tuhan Yesus Kristus.  Sering kali menjadi kenyataan di banyak jemaat; sekalipun menamakan diri sebagai bagian dari tubuh Kristus dan mengakui setiap orang Kristen adalah keluarga besar Allah namun hubungan satu dengan yang lain terasa dingin; cuek; dan tidak perduli. 
Ada sejumlah orang Kristen yang saling menyikut; menjegal; menjatuhkan untuk kepentingan dan ambisi pribadi/kelompok.  Akibatnya, bukannya terasa keluarga sejahtera; tetapi permusuhan dan pertikaian yang dilihat orang lain.
Yesus dalam pengajaran-Nya di Kapernaum membuat langkah yang radikal mengenai pengertian keluarga.  Bagi sejumlah besar orang Yahudi: keluarga adalah penting dan dijunjung tinggi.  Adalah berkesan sangat buruk bila anak memungkiri siapa orang tuanya.  Inilah yang kelihatannya dilakukan oleh Yesus.  Seolah-olah Yesus menjadi anak yang tidak berbakti dan menolak mengakui keluarga-Nya (Mat.12:48).
Jika kita perhatikan konteks dekat maupun jauh; akan terlihat bahwa maksud Yesus dengan perkataan: “Siapakah ibu-Ku? Dan siapa saudara-saudara-Ku?” (ay.49), adalah menjelaskan konsep keluarga Kristen.  Keluarga Allah tidak dibatasi pada hubungan darah; jasa baik di masa lampau; keahlian maupun pembayaran materi seperti sejumlah syarat menjadi anggota klub; namun didasarkan pada kelahiran baru oleh Roh Kudus dan diwujudnyatakan dalam melakukan kehendak Bapa (ay.50).
Yesus mengasihi dan perduli terhdap keluarga-Nya, Ia bahkan ingin setiap manusia menjadi anggota keluarga Allah di dalam karya penyelamatan Kristus.  Inilah bukti kasih terbesar Allah terhadap manusia.  Bagaimana dengan kita yang sudah di dalam anggota keluarga Allah, Apakah kita menganggap saudara seiman sebagai keluarga?  Jangan-jangan bukannya saling mengasihi (Gal.6:10; I Yoh.4:7) tapi saling mendengki yang ada di jemaat.  Semoga tidak malu-maluin Tarzan.
Facebooktwitterredditpinteresttumblrmail

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *