TITIK NOL PELAYANAN

TITIK NOL PELAYANAN
(Baca Matius 4:12-25)
Sejak waktu itulah Yesus memberitakan: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” Matius 4:17
Memulai sesuatu yang baru tentu tidak mudah, di sana harus menghadapi kekuatiran akan kegagalan; tantangan; tingkat kesulitan yang berbeda dengan sebelumnya; hingga penyesuaian akan langkah baru itu sendiri.  Memulai sesuatu yang baru bisa banyak bentuknya: entah itu usaha baru; tempat studi baru; pekerjaan baru; pacar baru; baru menikah; hingga pelayanan baru.
Setiap orang ketika memulai langkah yang baru ini; meskipun sudah didoakan, dipikirkan masak-masak, dipersiapkan sedemikian rupa dengan baiknya namun tidak menjamin segala sesuatu lancar dan pasti dengan mudahnya dilalui.  Apa yang kita pikirkan sebagai hal yang baik dan positif bisa jadi dipandang orang lain sebagai hal yang tidak baik dan negatif.
Misalnya, seseorang ketika memulai menjalin relasi dengan pacar baru atau pasangan hidup baru,  bisa jadi yang menjalani sudah memikirkan dan mengambil keputusan sebagai hal yang baik tetapi di mata orang lain dianggap tidak setia; selingkuh; tidak sepatutnya meninggalkan “yang lama”.  Ada orang yang memulai pacar baru karena dia merasa tidak cocok dengan pacar lama.  Ada orang yang memulai pasangan hidup baru karena yang pasagan hidup sebelumnya sudah dipanggil Tuhan.  Dalam tahapan ini, sebagian orang bisa menerima dan mengerti duduk perkara dengan jelas; namun sebagian lain tidak mengerti konteks keadaan dengan baik dan melihat dari sebelah mata sehingga dianggap negatif perilakunya.
Yesus baru memulai pelayanannya secara resmi ketika ada peristiwa penangkapan Yohanes Pembaptis (Matius 4:12,17).  Sebelumnya adalah masa persiapan.  Bagi orang yang pesimis dan memandang negatif Yesus, maka bisa jadi berpikir bahwa Yesus itu penakut itulah sebabnya begitu mendengar Yohanes Pembaptis ditangkap ia menyingkir di tepian danau perbatasan Zebulon dan Naftali di bilangan Galilea.
Bisa jadi orang yang tidak mengerti dan mempercayai keilahian Yesus akan berpendapat bahwa Yesus terlalu lama mempersiapkan pelayanannya secara resmi.  Kenapa harus umur 30 tahun baru melayani secara resmi?  Kenapa persiapan pelayanan pertama di titik nol harus didahului dengan doa dan puasa hingga 40 hari?  Bukankah sudah banyak orang sakit dan lumpuh dan dirasuk setan yang membutuhkan uluran tangan berkuasa dari Yesus?  Kenapa harus tunggu hingga “genap” waktunya menurut Yesus?
Memulai sesuatu yang baru tentu akan ada pandangan negatif dan positif.  Apapun, siapapun, dan bagaimanapun waktu ketika dijalaninya, setiap orang boleh berpendapat tetapi hanya orang yang menjalani hidupnya yang bertanggung jawab di hadapan Tuhan.  Seringkali lebih mudah bagi orang lain yang tidak menjalani “nasibnya” untuk mengatakan: “itu salah!”, atau “tindakan itu tidak setia”, atau “kenapa terlalu lama atau terlalu cepat mengambil keputusan ini?”.  Sebagian yang lain akan mengatakan dengan pedas dan menyakitkan.  Inilah yang disebut dengan keadaan Titik Nol. 
Yesus memulai pelayanannya bukan berdasarkan nasihat para tokoh agama Yahudi yang konon banyak pengalaman dan banyak hafal kitab Taurat.  Yesus tidak memulai pelayanan berdasarkan pandangan logis yang bisa diterima oleh alur logika ataupun penerimaan banyak orang.  Yesus memulai Titik Nol atas dasar panggilan hidupnya di dunia ini.  Ia punya misi dan persekutuan dengan Allah yang mewujudkan rencana Tuhan dalam kekekalan.  Yesus tidak memulai Titik Nol berdasarkan gejolak perasaan dan pikiran manusia belaka; tetapi hikmat Allah.
Ketika kita memasuki Titik Nol, bisa jadi keraguan dan kekuatiran mencengkeram dan membunuh pikiran dan langkah kita.  Kita membutuhkan keberanian untuk melangkah.  Bukan jenis keberanian yang nekad-nekadan atau konyol.  Bukan pula jenis keberanian yang asal-asalan dan tanpa hikmat.  Keberanian yang kita butuhkan adalah muncul dari melangkah bersama Tuhan.  Lebih baik salah mengambil keputusan dalam melangkah bersama Tuhan dari pada mengambil keputusan yang “benar”  tetapi tidak bersama Tuhan.
Ketika saya merintis sebuah langkah baru di dalam pelayanan, ada banyak pertimbangan dan tentu saja pergumulan dalam doa dan meditasi dalam Firman Tuhan.  Ada seorang hamba Tuhan berkata, “Tuhan akan mempertemukan kamu dengan orang-orang yang baru untuk memperlengkapi jadi saluran berkat.” Perkataan nubuat ini sungguh digenapi lewat pertemuan dengan orang-orang yang saya tidak sangka dan pikirkan sama sekali dan Tuhan mendorong mereka untuk mendukung pelayanan kami.
Hal seperti ini rupanya sudah pernah terjadi di masa lalu dan dialami sendiri oleh Yesus Kristus.  Bapa di sorga mengirim para murid untuk mendukung pelayananNya.  Dituliskan, “Dan ketika Yesus sedang berjalan menyusur Danau Galilea…” (Matius 4:18) adalah gambaran bagaimana dalam perjalanan hidup yang untuk Tuhan, Tuhan tidak tinggal diam tetapi mencukupkan.
Hidup untuk Tuhan, khususnya pelayanan tidak pernah dirancang untuk dijalankan sendiri tetapi dijalankan bersama dalam sebuah tim.  Bukan single fighter tetapi team work.  Itulah sebabnya Gereja ada, itulah sebabnya setiap orang memiliki talenta, keadaan dan keunikannya masing-masing. 
Titik Nol dalam Tuhan memang harus dikerjakan dan dipertanggungjawabkan masing-masing secara pribadi di hadapan Tuhan, tetapi jalannya hal yang dimulai dari permulaan tidak pernah dirancangkan oleh seorang diri saja melainkan dalam sebuah kerjasama.  Ketika Tuhan menciptakan alam semesta bersama isinya, Alkitab justru menuliskan “… Baiklah Kita menjadikan…” (Kejadian 1:26).  Ini semua bukan menyatakan bahwa Tuhan itu banyak tetapi Esa.  Ini semua bukan menyatakan bahwa Tuhan itu setengah berkuasa, tetapi justru berkuasa yang tidak sewenang-wenang.  Allah Tritunggal yang Esa itu sejak dari semula turut bekerja sama untuk memulai hal baru.  Titik Nol.
Alkitab menyatakan, “Maka tersiarlah berita tentang Dia..” dan ayat selanjutnya “Maka orang banyak berbodong-bondong mengikuti Dia..” (Matius 4:24-25).  Menggambarkan sebuah dampak (impact) dari pelayanan yang dikerjakan oleh Yesus Kristus.  Pelayanan yang dikerjakan untuk Tuhan dan melibatkan kuasa Tuhan tidak akan kekurangan penyertaan Tuhan.
Yesus menjadi berkat bagi lebih banyak orang ketika tersiar/terdengar kabar tentang bagaimana pekerjaan Tuhan memberkati; menyembuhkan; memulihkan dan menyegarkan manusia.  Sebuah realitas kesejatian dari pelayanan adalah ketika menjadi berkat dan nama Tuhan dipermuliakan.  Hari ini banyak orang berpikir bahwa pelayanan sejati adalah ketika seseorang menjadi terkenal; populer dan sensasional.  Ini bukan pelayanan sejati.
Harus diakui bahwa Titik Nol Pelayanan bukanlah langkah yang mudah.  Kita bisa belajar dari Tuhan Yesus Kristus ketika memulai langkahNya di dunia ini.  Langkah baru apakah yang akan Anda tempuh?  Apakah itu pekerjaan baru?  Studi baru?  Pasangan hidup? Pelayanan baru?  Ketika Anda berada di Titik Nol, pastikan bahwa Anda menggumulkannya secara serius di hadapan Tuhan.  Libatkan tim untuk langkah yang Anda tempuh atau kembangkan, dan ukur apakah kesejatian langkah yang Anda mulai ini selalu dan selalu memuliakan Tuhan atau hanya memuaskan nafsu dan ambisi manusia belaka?  Kiranya Tuhan menolong setiap kita yang berada di Titik Nol.  Selamat menjalaninya bersama Tuhan Yesus Kristus.  Amin.
Facebooktwitterredditpinteresttumblrmail

HUBRIS BABEL

HUBRIS BABEL : SEBUAH PERINGATAN BUAT KITA SEMUA!
Itulah sebabnya sampai sekarang nama kota itu disebut Babel, karena di situlah dikacaubalaukan TUHAN bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi.  
Kejadian 11:9
Menara Babel adalah sebuah cerita melegenda tentang sejarah manusia di dunia.  Manusia dahulunya adalah satu keluarga besar dengan satu bahasa.  Kemudian bahasa manusia dikacau balaukan Tuhan karena motif dalam membangun kota untuk mencari kebesaran namanya.  Dari peristiwa Babel, seharusnya menjadi peringatan buat setiap kita.  Mengapa?
Babel berasal dari kata yang artinya suara-suara yang membingungkan.  Sebuah kata untuk menggambarkan apa yang terjadi pada saat manusia terserak dan terpecah-pecah akibat sikap dan perbuatannya.  Babel adalah gambaran dari sikap hidup manusia yang kelihatannya baik dan mulia tetapi sebenarnya jahat dan dikuasai oleh dosa. 
Ketika manusia membangun Babel, kelihatannya sangat baik karena pergerakannya adalah persatuan dan bukan perpecahan; membangun sebuah peradaban yang besar dan dahsyat dan bukan peperangan atau kekerasan; berkarya dengan perencanaan dan usaha yang keras untuk mewujudkan teknologi terbaru secar ilmiah dan bukan serba mendadak (tanpa perencanaan) dan tanpa perhitungan.  Babel tampaknya dibuat dengan cara dan tujuan yang baik, namun Alkitab dengan jelas mencatat motif mereka adalah “… dirikan bagi kita … kita cari nama…” (Kejadian 11:4).  Sebuah motif dosa lama yakni  untuk kemuliaanku dan bukan kemuliaanNya.
Apa yang terjadi pada Babel sebenarnya adalah tentang kumpulan manusia yang sedang mengarah pada kemurtadan.  Mereka bukan membangun peradaban saja tetapi sedang membangun kerajaan manusia dan bukan kerajaan Tuhan.  Manusia lupa bahwa bumi dan seluruh isinya adalah milik Tuhan.  Berkarya adalah adalah wujud yang mulia dari panggilan Tuhan kepada manusia sejak penciptaan (Kejadian 1:28), tetapi yang terjadi di sini adalah sebuah karya yang dikerjakan dengan kesombongan untukku dan bukan untuk kemuliaanNya (Soli Deo Gloria).
Ketika manusia menjadi hubris (hubris adalah kata dalam bahasa Inggris yang artinya keangkuhan atau keyakinan diri berlebihan yang menganggap diri menyamai bahkan melampaui Tuhan), maka sikap dan perbuatannya bisa saja kelihatan sangat baik dan mulia tetapi jauh di dalam lubuk hati sangat jahat dan meninggalkan Tuhan.
Di Alkitab tercatat beberapa kali tentang sikap hubris yang akhirnya dihukum dan ditumbangkan Tuhan.  Di sana kita melihat bagaimana malaikat yang meninggikan diri dan ingin menyamai Tuhan.  Malaikat yang memberontak itu menjadi iblis dan kelak akan dihukum dengan sangat mengerikan.  Di bagian lain kita melihat raja Nebukadnesar ketika mendapat prestasi gemilang menaklukan sangat amat banyak wilayah jajahan kemudian menjadi sombong luar biasa dan dihukum Tuhan menjadi seperti binatang yang kukunya panjang, mengais-ngais di rumput dan kehilangan kesadaran sebagai manusia untuk jangka waktu tertentu. 
Di Perjanjian Baru kita melihat raja Herodes yang karena keangkuhan luar biasa merasa diri sebagai Tuhan dan ditampar oleh malaikat Tuhan hingga mati dan dimakan cacing setelah pidatonya yang dipuji rakyat seperti “suara Tuhan”.  Sikap hubris adalah gambaran dari orang-orang yang hendak membangun menara Babel.
Hari ini peristiwa Babel terjadi di mana-mana, mulai dari unsur pemerintahan, panggung politik (saya sengaja memakai kata “panggung” karena terlalu banyak sandiwara dan tipu daya yang terjadi), sekolah atau universitas, perdagangan, bahkan hingga di dunia agama.  Sungguh sebuah potret tercela yang sebenarnya enggan dibahas oleh banyak orang.
Di pemerintahan banyak orang yang kelihatannya membangun bangsa tetapi sebenarnya penuh dengan proyek-proyek kepentingan pribadi.  Di politik uang digelontorkan sebanyak mungkin hingga hutang tak terkira, ketika sudah naik menjadi pejabat di suatu tempat maka kekuasaan menjadi alat “bayar hutang” untuk legitimasi kerajaanku.  Di perdagangan menjual produk sebanyak mungkin kelihatan baik tetapi dibaliknya dilakukan dengan menyikut orang lain, bila perlu menyikat orang lain hingga habis.  Di dunia pendidikan tidak jarang terjadi cari nama, plagiat hasil karya, hingga cara-cara yayasan untuk meraup untung sebesar mungkin dan mengabaikan kesejahteraan tenaga pengajar.
Di bidang keagamaan banyak orang-orang yang mengatas namakan untuk Tuhan tetapi sebenarnya sedang mengejar ambisi dan kepentingan kerajaannya.  Di sana terdapat oknum yang bukannya cari jiwa baru tetapi curi domba lain, di tempat lain terdapat sejumlah oknum yang ingin bangun megah dan mewah gedung ibadahnya sebagai lambang sukses, sementara yang lain sibuk buka cabang seperti franchise untuk menargetkan pengembalian break event point dan bila perlu tahun depan sudah untung banyak.
Apa yang terjadi dengan keadaan sekarang?  Apakah tenaga kita habis untuk menuding-nuding orang ini dan orang itu karena membangun Babelnya?  Saya merasa ngeri dan takut melihat realitas orang-orang yang kelihatannya baik dan seharusnya jadi teladan sebagai pemimpin tetapi terjatuh karena virus hubris Babel.  Belajar dari hubris Babel di kejadian pasal 11, seharusnya membawa kita untuk  mengevaluasi diri: Apakah yang saya kerjakan ini berkenan di hati Tuhan?  Apakah yang sedang saya kerjakan ini membangun kerajaanku atau kerajaanNya?
Belajar dari hubris Babel seharusnya membuat kita ngeri dan mawas diri agar tidak mengulangi kekonyolan mereka.  Mimpi yang dikerjakan dengan penuh semangat dapat menjadi penyembahan berhala.  Bukan salah kalau membangun, bersatu, berkerja dengan cerdik, bahkan memiliki visipun adalah hal yang baik.  Semua ini akan dipertanggungjawabkan bahkan akan dihukum oleh Tuhan apabila dikerjakan untuk identitas diri, untuk keangkuhan atau kesombongan diri, dan menggantikan Tuhan dengan ilah “Babel”.  Kiranya Tuhan menolong kita untuk tidak bersikap hubris Babel, bahkan mohon Tuhan mencegah kita sebelum ditekuk hancur hingga konyol seperti menara Babel. 
Facebooktwitterredditpinteresttumblrmail

BERTUMBUH DALAM ANUGERAH TUHAN YANG ISTIMEWA

BERTUMBUH DALAM ANUGERAH TUHAN YANG ISTIMEWA
“Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Enkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau”  Ayub 42:5 .
 
Apakah yang membuat seorang pengikut Yesus dikatakan bertumbuh?  Apakah karena ia sudah puluhan tahun mengunjungi Gereja?  Apakah karena ia semakin tahu banyak tentang filsafat Kristen, menghafal katekismus bahkan mengenali isyu teologi kontemporer terkini yang disebut “bertumbuh”?
Saya cukup sering mendengar percakapan orang Kristen yang mengatakan bahwa dahulu dia adalah aktivis di sebuah Gereja, giat melayani dan sangat terampil dalam bidang tertentu pelayanan.  Yang lainnya mengatakan sebagai pengurus sebuah Gereja dan bahkan sudah puluhan tahun.  Kebanggaanya adalah “sebelum kamu lahir, saya sudah terjun dalam pelayanan.”  Namun sedih sekali ketika mengetahui posisinya saat ini yang jarang ke Gereja, tidak lagi aktif melayani Tuhan dan tidak juga menunjukkan pertumbuhan rohani yang nyata.  Apa yang terjadi?
Kalau kita kembali kepada kehidupan Ayub, kita terkagum-kagum dengan gaya hidup yang dinyatakan setiap harinya.  Seorang yang mengasihi Tuhan, rajin berbuat baik, tahu diri (saya pikir tidak berlebihan mengatakan demikian karena Ayub bukan saja sering introspeksi diri tetapi juga kehidupan keluarganya.  Lihat Ayub 1:5), dsb (Ayub 1:1-3).  Boleh dikatakan Ayub adalah sosok ideal dari kehidupan seorang anak Tuhan.
Tetapi apa yang terjadi setelah pergumulannya yang berat menderanya bertubi-tubi?  Seperti pengujian dalam api yang sangat panas, aslinya akan kelihatan.  Di satu sisi dimurnikan, di sisi lain yang kotor-kotor menempel disingkirkan.  Ayub bergumul luar biasa dengan Tuhan dan menemukan yang namanya pertumbuhan.  
Pertumbuhan rohani kerap kali terjadi bukan pada saat lancar dan “baik-baik saja” melainkan pada saat sulit dan banyak tantangan.  Pertumbuhan rohani tidak terjadi dengan sendirinya tetapi dikerjakan.  Pertumbuhan rohani bukan tentang keterampilan atau pertambahan pemahaman kognitif tetapi lebih kepada keputusan dan dinamika bersama Tuhan.
Ayub mengatakan, “ Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Enkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (Ayub 42:5).  Inilah yang disebut pertumbuhan rohani.  Pertumbuhan rohani terjadi bukan karena usaha kita semata tetapi karunia Roh Kudus yang kita responi dalam tantangan hidup.
Ayub yang tadinya banyak tahu tentang Tuhan (know about God) sekarang belajar mengenal Tuhan (knowing God).  Ada beberapa perbandingan yang unik dari Ayub 42:5 ini, yakni antara masa lalu (past) dengan masa kini (present); antara mendengar saja (hear) dan kemudian juga melihat (see); antara tahu dari orang lain menjadi tahu sendiri secara personal.  
Kedalaman makna pertumbuhan rohani Ayub yang dilukiskan di 42:5 menunjukkan bahwa pertumbuhan rohani bukan tentang sejarah tetapi kekinian dan bersifat relasi pribadi dengan Tuhan.  Apa yang kerap dibanggakan banyak orang-orang percaya adalah “saya dahulu pernah berprestasi dalam hal ini, pernah aktif melayani dalam hal itu, dst”.  Tetapi pertumbuhan rohani lebih pada apa yang Tuhan baru saja dan sedang melakukan sesuatu dalam hidup kita.  
Ketika kita bertumbuh secara rohani maka itu adalah anugerah Tuhan yang luar biasa.  Seseorang boleh mengusahakan banyak kegiatan dan sikap rohani yang luar biasa indah dan jadi berkat buat banyak orang, tetapi bertumbuh sendiri adalah hasil kerja dari Roh Kudus.  
Anugerah Tuhan itu istimewa, sifatnya personal dan bukan barang dagangan.  Ayub selama ini telah menunjukkan kesaksian hidup yang sangat baik dan menjadi teladan buat kita semua, namun ketika Ayub tiba pada satu pengakuan dari past ke present, dari hear ke see, dari other ke mine maka ia tengah bertumbuh dalam relasi yang paling personal dalam hidupnya: hanya antara aku dan Tuhan.
Hari ini Tuhan memanggil Anda dan saya untuk masuk dalam dimensi rohani ini, yakni pertumbuhan rohani.  Sebuah dinamika rohani yang tidak berhenti di masa lalu tentang betapa hebatnya jasa kita atau tentang betapa hebatnya kebaikan Tuhan, tetapi sebuah keputusan hari ini: saya mau berjalan bersama dengan Tuhan dengan konsekuensi yang paling buruk sekalipun.  Sebuah pengalaman pribadi yang mengajak diri sendiri untuk menghargai anugerah Tuhan yang istimewa itu sekarang.  Kiranya anugerah Tuhan yang istimewa dalam Tuhan Yesus Kristus membawa kita semakin bertumbuh.  Amin.

Facebooktwitterredditpinteresttumblrmail