SUDAH JATUH DILEMPAR TANGGA

Sudah Jatuh Dilempar Tangga
Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu—yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api—sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.” I Petrus 1:7

Bagaimana rasanya bila Anda tidak sengaja terpeleset ketika menaiki tangga kayu, jatuh dan tangga itu menimpahi Anda?  Mungkin Anda merasa jengkel, kecewa dan marah.  Kurang lebih perasaan seperti ini yang muncul pada beberapa remaja yang tidak lulus ujian sekolah.
Beberapa remaja ini bukan bodoh pun tidak malas, namun mereka mempunyai satu komitmen ketika ujian akhir nasional tidak akan menyontek seperti teman-teman yang lain.  Ketika pengumuman, siswa yang bodoh dan terkenal nakal dinyatakan lulus (karena nyontek), sedangkan dirinya yang biasa-biasa dinyatakan tidak lulus. 
Pulangnya dengan sedih ia memberitahu orang tua, dengan harapan dihibur, didukung dan dikuatkan.  Apa yang terjadi?  Orang tuanya memarahin anaknya yang gagal: “Bodoh!  Kenapa kamu tidak menyontek seperti teman-temanmu?!”
Kalau ada pepatah mengatakan, “sudah jatuh ditimpa tangga”; mungkin apa yang dialami oleh remaja ini cocok diberikan pepatah, “sudah jatuh, dilempar tangga pula.”.  Pada saat-saat seperti ini tentu ada segudang kesedihan, kekecewaan dan bisa jadi pertanyaan: “Tuhan, kenapa ketika saya berusaha jujur hasilnya ajur (hancur)?!” 
Petrus hamba Kristus menjawab pergumulan semua orang percaya ketika berbuat benar tapi justru rugi.  Tuhan mengijinkan peristiwa yang tidak diinginkan untuk menguji iman percaya kita.  Seperti emas yang ditempah di dalam perapian, demikian kita diuji di dalam kesulitan hidup.  Apakah ketika  rugi berbuat baik, kita tetap setia kepada-Nya?  Apakah ketika hidup terpeleset dan jatuh ditimpah tangga, kita tetap beriman pada kebenaran dan janji-Nya?
Semua peristiwa tidak baik—seperti: sudah capek-capek melayani, eh disalahpahami; bersedia jadi bendahara, eh uangnya dicopet dan harus ganti; tidak menyontek waktu ujian, eh tidak lulus—dapat membuat iman kita surut, pelayanan kita mundur dan menyalahkan Tuhan.
Jikalau kita mau perhatikan lebih dalam, semuanya itu sebenarnya terjadi untuk melihat: Apakah kita sungguh-sungguh percaya kepada Kristus?  Apakah iman saya adalah emas murni yang ketika kena panas menunjukkan kemurniannya?  Atau jangan-jangan iman kita palsu, hati kita tidak sungguh mempercayai dan mau mengikut Dia?

Semua yang namanya diuji dalam tekanan dan api pastilah tidak enak, namun marilah kita mengingat tujuan dari ujian itu adalah kemurnian iman kita.  Ada upah, sukacita, dan semua yang terbaik yang disediakan Yesus bagi orang yang tetap bertahan pada iman-Nya.  Jikalau kita emas murni, jatuh ditimpah tanggapun membawa berkat.  Bisa jadi sakit awalnya, kemudian sejumlah orang menolong mengobati.  Ada yang membawa kue, ada yang membawa air, ada yang membawakan makanan dan buah-buahan.  Asyiik dech pada akhirnya!  So, jangan pesimis dulu dan mengeluh: “Mana berkat Tuhan?”, melainkan: “Apakah imanku murni seperti emas?”

Facebooktwitterredditpinteresttumblrmail

SULITNYA BILANG CUKUP

SULITNYA BILANG CUKUP
Ketika bejana-bejana itu sudah penuh, berkatalah perempuan itu kepada anaknya: “Dekatkanlah kepadaku sebuah bejana lagi,” tetapi jawabnya kepada ibunya: “Tidak ada lagi bejana.” Lalu berhentilah minyak itu mengalir.   II Raja-raja 4:6
Berjalan pagi bersama-sama di pantai losari (Makassar, Sulawesi Selatan) adalah hal yang sangat menyenangkan lagi sehat.  Dikatakan menyenangkan karena dapat bangun pagi, menghirup udara segar, melihat pemandangan pantai dan menikmati kebersamaan.  Dikatakan sehat karena olah raga melatih otot-otot yang kendur, menambah stamina dan memperlancar kerja otak. 
Sewaktu berada di pantai, ada beberapa macam tanggapan orang mengenai olah raga pagi.  Seorang merasa cukup berjalan kaki saja, sementara yang lain lebih suka lari kencang pada jarak tertentu.  Ada juga merasa cukup dengan lari-lari kecil dan yang lain duduk menikmati terbitnya matahari.
Sebutan “cukup” bagi setiap orang bisa relatif, masing-masing mempunyai pendapat sendiri tentang kata cukup berolah raga pagi itu.  Kecukupan dapat didasarkan stamina, jarak maupun mood.  Demikian juga dengan namanya berkat dari Tuhan.  Sering kali banyak pendapat tentang kecukupan berkat itu sendiri.  Ada yang merasa cukup dengan penghasilannya, ada yang merasa puas dengan kesehatannya, tetapi ada juga yang sekalipun sudah banyak harta masih belum merasa cukup.  Memang “cukup” itu relatif.
Perjalanan nabi Elisa bertemu dengan seorang janda miskin yang kekurangan berada di dalam konteks keadaan kacau, miskin dan masa sulit perekonomian.  Janda ini hidup dililit hutang besar dan jika tidak melunasi tunggakan, maka anak-anaknya terancam jadi budak.
Elisa menjadi saluran berkat Tuhan bagi janda miskin itu.  Pertolongan Tuhan datang secara luar biasa dalam tuangan minyak zaitun secara melimpah-limpah keluar dari sebuah buli-buli.  Ketika semua bejana kosong terisi, minyak itu seketika juga habis.  Sungguh kata: “cukup” memberi arti tersendiri dalam peristiwa ini.
Masalahnya, “cukup” bukan dari seberapa rakus dan hausnya keinginan  dipenuhi oleh berkat Tuhan, melainkan seberapa tahu diri dan bersyukurnya seseorang pada setiap tetesan minyak berkat itu. 
Jika standar “cukup” dilihat pada manusia, maka kata “cukup” seringkali menjadi sulit diucapkan.  Bisa jadi janda ini akan berkata: “kenapa Tuhan memberi berkat sedikit?!  Mana cukup?!  Kalau minyak sudah dijual dan dapat membeli sedikit makanan, bulan depan kami makan apa?” 
Marilah kita mewaspadai hati yang tamak.  Semakin sulit kita menghayati dan mensyukuri setiap tetesan berkat Tuhan, bisa jadi semakin besarlah benih ketamakan itu.  Kata “cukup” dimulai dari hati bukan dari benda yang kita inginkan.  Seperti ada tertulis: Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.”
Facebooktwitterredditpinteresttumblrmail

SHEPERD’S STAFF (TONGKAT GEMBALA)

Sheperd’s Staff  
(Tongkat Gembala)
(Baca: Keluaran 4:1-5)
TUHAN berfirman kepadanya: “Apakah yang di tanganmu itu?” 
Jawab Musa: “Tongkat.” Keluaran 4:2
 
Ada seorang penduduk desa terasing di pulau terpencil yang datang ke kota besar.  Ia membawa sejumlah peralatan dan perbekalan.  Sesampai di kota, ia mulai terkagum kagum melihat kemajuan dan kehebatan teknologinya.  Ia sangat lapar dan hendak barter antara makanan di depot kecil pinggir kota dan barang bawaanya.  Sang pemilik depot enggan dan tentu saja tidak mau.  “Apa kamu tidak punya uang?  Mengapa harus barter dengan mie pangsit kepunyaanku?!”  Tanya pemilik depot dengan ketus.
“Saya memiliki batu ukiran seni dari nenek moyang kami.”  Jawab si perantau itu sambil menunjukkan banyak perbekalan batu di kantung kulitnya.  “Maaf, tidak bisa makanan ditukar dengan batu.”  Pemilik depot kemudian meninggalkan perantau dalam keadaan kelaparan.  “Tetapi pak! Batu-batu ukiran ini sangat berharga.  Bahkan di tempat kami dapat ditukar dengan ayam, babi, ataupun sayur-sayuran!”  Kata perantau itu.  “Pokoknya tidak bisa.  Di kota, batu itu tidak laku untuk beli makanan.  Pergi sana!  Kecuali kamu punya batu emas, barulah saya mau ganti dengan 10 mangkuk pangsit.  Ayo, pergi!”
Mendengar perkataan pemilik depot, perantau ini langsung lemas.  “Seandainya batu jelek itu kubawa di sini, tentu saya bisa makan.  Batu bewarna kuning yang disebut orang kota: emas, biasa kami pakai untuk melapisi dinding kandang babi kami.”
Apa yang dianggap penting bagi seseorang bisa jadi tidak penting bagi orang lain, dan apa yang dianggap tidak penting bagi orang lain bisa jadi sangat penting bagi kita.  Semuanya tergatung cara kita memandang sesuatu dan standar yang dipakai untuk menilai sesuatu itu.
Demikian juga halnya Musa, pada waktu ia bertemu dengan Allah di semak belukar bersikap merendah dan merasa tidak bisa berbuat apa-apa bagi Tuhan, bagi bangsa Israel.  Tuhan menyatakan kepada Musa bahwa tongkat gembala yang sudah tua dan jelek itu bisa dipakai untuk menyatakan mujizat lambang kemuliaan Tuhan (Keluaran 4:1-5).
Tongkat gembala tidaklah lebih hanya sebuah tongkat bagi kebanyakan orang di Mesir.  Bagi gembala dombapun sebatas alat untuk menggembalakan dan melindungi hewan ternak.  Nilai yang dipandang oleh Musa hanya sebatas itu.
Berbeda halnya dengan cara penilaian Tuhan terhadap tongkat yang dipegang oleh Musa.  Di hadapan Tuhan, tongkat biasa dapat menjadi tongkat luar biasa.  Tongkat ini bila diletakkan dapat menjadi ular.  Tongkat ini bila dipegang posisi tangan di atas, dapat memenangkan pertempuran.  Tongkat gembala ini luar biasa di tangan Tuhan.
Demikian pula halnya dengan tongkat (baca:talenta) yang kita miliki.  Mungkin orang lain tidak melihat dan menganggap biasa-biasa saja, tetapi di mata Tuhan tongkat kita dapat diubah secara luar biasa dan dahsyat.  Bisa memberkati orang lain, mendukung pekerjaan pelayanan, bahkan mengerjakan masa depan yang penuh arti.
Tongkat gembala di tangan Musa bertujuan menyatakan kekuasaan dan kehadiran Allah.  Tongkat gembala di tangan kita juga mempunyai tujuan menyatakan kemuliaan Tuhan.  Setiap talenta yang Tuhan berikan, wajib dikembangkan dan dipakai untuk tujuan yang berkenan di hadapan Allah.  Prinsip yang sama antara tongkat gembala Musa dengan tongkat talenta kita bertujuan membawa orang-orang percaya dan menyembah Tuhan serta menguatkan iman orang percaya bahwa mereka tidak sendirian, tetapi Allah hadir dan menyertai mereka.
Bagaimana dengan Anda?  Sudahkah tongkat Anda dikembangkan dan digunakan sebagaimana mestinya?  Apakah itu membangun tubuh Kristus?  Apakah tongkat (talenta) itu memuliakan Tuhan?  Di tangan manusia, tongkat hanyalah sebuah alat yang terbatas.  Di tangan Tuhan, tongkat dapat menjadi mujizat menyatakan berkat Tuhan.
Facebooktwitterredditpinteresttumblrmail

SEPERTI AYAH MENDIDIK ANAKNYA

SEPERTI AYAH MENDIDIK ANAKNYA
Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu.  Mazmur 32:8
Saya melihat seorang ayah tengah mendidik anaknya mengenai sopan santun ketika mengotak-atik barang orang lain.  Ayah ini melarang anaknya untuk menyentuh sebuah handycam yang dipasang di sebuah tripod. 
Dengan antusias  anak ini ingin mengetahui benda yang jarang dilihatnya.  Anak ini tidak menghiraukan perkataan orang tuanya, karena begitu heran dan asyik mengamati benda kecil yang menampilkan gambar bergerak.
Melihat perkataan dirinya yang tidak digubris apalagi justru melihat anaknya makin mendekati tiga kaki penyangga dari aluminium ringan itu, sang ayah segera “menylentik” telinga anaknya.  Kontan saja anaknya terkejut dan langsung diam.
Saya kagum, sang ayah tidak memukul, menampar, apalagi memaki-makin supaya anaknya tidak mendekati handycam kecil itu.  Anak ini beruntung memiliki ayah yang sayang dan perhatian kepadanya.  Tidak lama setelah dilarang, anak kecil ini digendong dan dipeluk oleh ayahnya.
Kurang lebih seperti inilah yang dilakukan Tuhan kepada kita dalam mendidik dan membimbing jalan hidup.  Pemazmur Daud menggambarkan dengan jelas arti sikap Bapa terhadap anak-anak-Nya.  Bapa yang baik bukan saja memberitahu yang mana benar dan yang mana salah, tetapi juga memberikan pengampunan dan kesempatan bagi yang terjatuh di dalam dosa.  Tuhan tidak berdiam diri, tetapi mendidik dan bila perlu menghajar anak-anak-Nya supaya bertobat dan kembali di dalam pelukan kasih-Nya.
Ketika Daud jatuh di dalam perbuatan dosa, ia merasakan ketidaknyamanan dan ketidakdamaian dalam hatinya.  Ia menggambarkan keadaannya sebagai tulang-tulang yang lesuh sepanjang hari.  Sampai ia mengakui dosanya dan bertobat, barulah Daud merasakan yang namanya berbahagia!
Ketika Tuhan memandangkan wajah-Nya kepada orang percaya, Ia sedang mendidik dan menunjukkan jalan yang harus ditempuh.  Jikalau orang percaya itu begitu asyik dan terbuai terhadap hal-hal duniawi, maka Tuhan akan memperingatkannya.  Jikalau orang percaya itu masih belum sadar akan bahaya yang sedang diperingatkan, Tuhan akan “menylentik telinganya”.  Sesudah orang percaya itu sadar dan mau berubah, diampuninyalah dan dipeluk dalam dekapan kasih Bapa.
Relasi kehidupan kita dengan Tuhan  adalah sama dengan relasi kehidupan Daud dengan Tuhan.  Hubungan  Tuhan dengan kita adalah Bapa terhadap anak.  Ada kalanya Bapa tersenyum melihat kita yang unik.  Bisa jadi mengerutkan dahinya ketika kita mulai “nakal” dan “menylentikan” tangan-Nya ketika kita tidak dengar-dengaran.  Marilah kita belajar tidak terbuai di dalam dunia, tetapi belajar mendengar dan mentaati Firman-Nya.  Amin.
Facebooktwitterredditpinteresttumblrmail